Sabtu, 11 Oktober 2014

Sekuntum Cinta Di Tengah Dusta (2)

II
            Stasiun Bojonggede masih pada tempatnya yang kemarin, letak geografisnya disebelah selatan stasiun Citayam, dan disebelah utara stasiun Cilebut. Krishna dan Kandita berdiri berdampingan di peron ujung utara yang sudah diperpanjang. Kandita sudah tidak berpura-pura cemburu kepada Tania, karena Krishna sudah mengetahui apa yang dilakukan oleh Kandita. Sejak Sekolah Menengah Atas, semua yang dilakukan Kandita adalah kepura-puraan, kecuali cintanya yang tidak bisa di pura-purakan. Sebenarnya Kandita punya kemampuan untuk memura-murakan cintanya, tapi dia tidak sanggup. Dia tidak sanggup untuk mempermainkan perasaannya akan cinta Krishna yang tulus. Kandita tidak mampu mempermainkan orang yang telah menunggunya selama hampir lebih dari dua setengah jam di halte stasiun Sudirman.
            Kandita benar-benar mencintai Krishna. Perasaan itu timbul karena Kandita sendiri yang memendam perasaan itu dalam hatinya. Setelah perasaan itu dipendam, cukup lama, sampai perasaan itu bertumbuh menjadi sekuncup cinta didalam hatinya. Percuma saja Kandita ingin memotongnya, setelah sekian lama dipendam, cinta itu sudah berubah menjadi sebuah mawar yang sangat disayangkan apabila dipotong. Ada dua cara untuk mengatasi masalah tersebut, diantara hidup dan mati, cara pertama Kandita menerima hasil dari perbuatan memendam perasaannya itu dan atau mencabut dari akarnya, cara kedua ini pasti menyakitkan, karena cinta tersebut sudah menggurita di hatinya, mengakar kuat dan keras. Dia baru menyadari cinta yang benar-benar ada di hatinya itu.
            Di perhatikan, jalur dua dari arah selatan KRL commuter line tujuan Manggarai, Sudirman, Tanah Abang, Duri, Angke, Kampung Bandan, Pasar Senen melintas langsung, mengakhiri perjalanan di stasiun Jatinegara, hati-hati jangan menyeberangi jalur satu KRL Commuter Line tujuan Jatinegara pemberangkatan stasiun Bojonggede pukul enam lewat limabelas menit. Untuk KRL Commuter Line tujuan Bogor, rangkaiannya berangkat dari stasiun Citayam. Perhatikan karcis dan barang bawaan anda supaya jangan tertinggal di wilayah stasiun Bojonggede.
            Jalur dua KA delapan tiga tujuh, selesai naik-turun penumpang, terima aspek sinyal hijau aman, silakan berangkat!
            Kandita masih tidak mau melepaskan genggaman tangannya dari telapak tangan tunangannya itu, dia ingin menaruh tasnya di rak yang telah disediakan, tapi tanggung, mereka berdua akan turun di Depok untuk naik kereta commuter yang akan berangkat dari stasiun Depok jam enam lewat tiga puluh sembilan menit, kalau tidak mengalami gangguan. Kalau mengalami gangguan ya mungkin sampai jam tujuh pagi baru berangkat. Tapi pagi itu tidak ada gangguan, jadi mereka naik kereta seperti biasa.
            Seperti biasa, aku diam tak bicara.. lhoh, salah! Seperti biasa, mereka berdua turun di stasiun Depok, lalu naik kereta yang ada di jalur dua, kereta commuter line tujuan Tanah Abang sampai Jatinegara. Di tempat biasa, pintu sebelah kiri, Krishna biasa bersandar di pintu itu, dan Kandita sudah barang tentu berhadapan dengan tunangannya itu sambil mendengarkan lagu dari mp3 player miliknya.
            Dia melihat Krishna yang memejamkan matanya. Kandita tahu, bahwa Krishna tidak sedang tidur meski dia terbiasa tidur dengan berdiri, karena jika Krishna tidur, kepalanya tidak akan bersandar pada pintu kereta. Kandita meraih jemari tangan Krishna, dan didapatinya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
            Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi, namun di ruangan itu belum ada siapa-siapa. Hanya Krishna, dan Anissa. Krishna baru akan memulai pekerjaannya, Anissa juga melakukan hal yang sama. Teman-temannya sesama RoKer atau Rombongan Kereta masih tertahan di stasiun Pasar Minggu karena ada beberapa penumpang, mereka menyebut diri sebagai atappress. Yang tersengat LAA.
“Temen-temen loe kemana pak?” tanya Nissa.
“Wah, nggak tahu bu!”
“Syahroni, Jamil, Ridwan dan kawan-kawan! Naik kereta juga ‘kan?” heran Nissa.
“Iya, paling-paling kereta bermasalah bu!” mereka masih berbincang, dan tak lama handphone Krishna berbunyi, Ridwan lah yang menelfonnya.
“Yups, kenapa coy?” tanya Krishna.
“Pak, sori nih, gue sama yang lainnya kayaknya terlambat!”
“Emang sudah terlambat loe! Kereta bermasalah?”
“Ada yang kesetrum di Pasar Minggu! Tiga orang!”
“Weits, gila! Banyak banget!”
“Iya, gue juga nggak tahu nih kapan selesainya!”
“Ya sudah loe telefon pak Darman aja coy!”
“Oke pak! Nanti gue telefon!” dan Krishna mengakhiri pembicaraannya.
“Kenapa pak?” heran Nissa.
“Ada yang wafat di Pasar Minggu!” singkat Krishna.
“Terus apa hubungan sama keterlambatan mereka?”
“Wafatnya karena kesetrum pantograph kereta yang mereka naikin!”
“Waw, pantesan aja!”
            Dan mereka kembali kepada pekerjaannya masing-masing. Karena memang hanya itu yang bisa mereka lakukan, paling tidak sampai pak Sudarman keluar dari ruangannya, menatap ruang kerja anak buahnya dan.
“Kemana yang lainnya?”
“Ridwan, Jamil, dan Syahroni terlambat pak! Naik kereta!” kata Anissa gugup. Dan tatapan pak Darman kini diarahkan kepada Krishna.
“Krishna, Nissa! Masuk ke ruangan saya!!” perintah pak Darman singkat, dan langsung dipatuhi oleh kedua bawahannya itu.
“Ada yang bisa kami kerjakan pak?” tanya Krishna setelah dipersilakan duduk oleh atasannya itu.
“Krishna, kapan kamu akan menikah?” tanya pak Darman sambil masih melihat-lihat monitor laptopnya.
“Rencananya tahun depan pak!”
“Nissa, kamu kapan mau menikah?”
“Dua tahun lagi, pak!”
“Kenapa dua tahun lagi?” tanya pak Darman sambil masih melihat-lihat layar monitornya.
“Belum ada yang mau melamar saya!” singkat Nissa.
“Krishna, selama lima bulan, bisa ‘kan kamu berpisah sebentar dengan tunangan kamu?” katanya langsung menatap Krishna dengan dalam. Sejenak, mereka dalam keheningan.
“Apakah ada tugas yang harus saya kerjakan?” tanya Krishna singkat.
“Aneh! Kamu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan? Saya bertanya kamu sanggup atau tidak?”
“Ya, saya sanggup pak!” tapi bagaimana dengan Kandita, mampukah dia menunggu selama lima bulan, menunggu Krishna kembali untuk melamarnya.
“Kamu, Anissa?”
“Ya, saya sanggup!” kata Anissa padat dan jelas.
“Ini surat tugas dari kantor pusat!” kata pak Darman sambil mengambil dua lembar kertas yang baru keluar dari printernya, kemudian menyerahkan kepada Krishna dan Anissa sesuai nama yang tetera di masing-masing surat itu.
“Kantor pusat?” heran Krishna.
“Kalian akan diperbantukan!”
“Diperbantukan?” heran Nissa. Memangnya kami ini guru?
“Ya, Mentawai!”
“Itu bukannya nama kota di Kalimantan pak?”
“Memang kesana kalian akan ditugaskan!” kata pak Darman.
“Sebagai apa pak?” heran Krishna.
“Namanya juga diperbantukan! Kamu harus bisa melakukan apa saja!” jelas pak Darman.
            Mereka berdua tidak mungkin mengingkari janjinya kepada atasan yang sudah dianggap sebagai ayahnya sendiri itu. Jadi mereka terima tugas itu dengan kesungguhan hati. Sekalipun, harus meninggalkan tunangannya.
“Kapan kami berangkat pak?” tanya Krishna.
“Lusa! Tiket pesawat sedang dipesan, uang transport kalian akan dikirim ke nomor rekening kalian masing-masing, dan sekarang, kalian boleh pulang! Istirahat yang cukup!”
“Baik pak!” kata mereka taat.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Kenapa loe bu?” tanya Krishna setelah melihat Nissa yang sepertinya masih tidak mempercayai apa yang baru dialaminya.
“Gue nggak percaya!”
“Nggak percaya kenapa bu?”
“Gue nggak percaya kalau gue bener-bener bisa ke Kalimantan!”
“Ah, lebay loe! Apa bedanya coba Kalimantan, Jawa, Sumatra, sama Sulawesi? Sama-sama di iklim tropis ‘kan?” kata Krishna sambil meminum air bening yang ada di mejanya.
“Gue bisa ke sungai Kapuas pak!”
“Ya, ya ya! Gue tau loe bu! Lagian sungai Kapuas apa bedanya sih sama sungai Ciliwung?”
            Siang itu, waktu menunjukkan pukul dua belas, Krishna dan Nissa masih berbincang-bincang. Tidak ada sesuatu yang harus mereka kerjakan, karena pak Darman sudah mengalihkan semua tugas mereka kepada teman-temannya.
“Loe sudah makan belom bu?” tanya Krishna.
“Belum! Kenapa? loe mau traktir gue pak?” tanya Nissa.
“Ya sudah yuk! Ron, Jamil, Ridwan; loe gue bungkusin aja ya!”
“Wah, gue nggak usah deh! Jamil sama Roni aja tuh kayaknya!” kata Ridwan.
“Oh, oke lah!”
            Di sebuah kedai mie ayam, Krishna memesan empat porsi untuknya, Nissa, Jamil dan Roni, untuk menambah rasa kebersamaan, Krishna memutuskan untuk melakukan sistim pesan-bawa, singkatnya di bungkus untuk makan di kantor, karena tidak enak juga seorang pria yang sudah bertunangan makan berdua-duaan dengan seorang wanita yang bukan tunangannya.
“Tunangan loe si Martina, rela nggak pak?” tanya Nissa saat menunggu pesanan.
“Kandita! Bukan Martina!” singkat Krishna.
“Eh, iya! Loe sudah bilang ke dia?”
“Belum! Kayaknya gue butuh bantuannya pak Darman deh!”
“Bantuan gimana?”
“Untuk kasih penjelasan ke calon ibu dari anak-anak gue!”
“Hallah, gaya loe pak!”
“Nah, loe kapan?” canda Krishna.
“Nggak tahu lah!”
“Padahal loe tuh cantik, seksi, pinter lagi! Cuman orang goblok yang nggak mau jadian sama loe!” kata Krishna.
“Mulai nggombal nya! Gue bilangin mbak Kandita baru tahu rasa loe!”
“Eh, jangan dong!”
“Kalau cuman orang goblok yang nggak mau jadian sama gue, loe termasuk yang goblok dong pak?” canda Nissa.
“Gimana ya?” kata Krishna sambil terbahak.
“Sudah, bayarnya pakai ini saja!” kata Nissa sambil mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu.
“Wah, padahal gue yang harusnya traktir loe-loe pada bu!”
“Sudah! Loe tabung saja buat nikah pak!” gurau Nissa.
“Thank you banget Niss!”
“WOLES!” kebalikannya SELOW artinya SLOW: santai. Halllah.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
            Sore di stasiun Sudirman, waktu menunjukkan jam lima lewat sepuluh menit, Kandita resah menunggu kedatangan tunangannya. Dia belum mau turun ke peron sebelum mendapat kabar dari tunangannya itu, padahal matahari sudah semakin tidak terlihat dari pandangan mata. Berulang kali dia coba menelfon tunangannya, tapi yang mengangkat adalah seorang wanita yang berkata ‘maaf, nomor telefon yang anda tuju sedang berada di luar jangkaun! Silakan coba beberapa saat lagi!’ sudah jam setengah enam, Krishna belum terlihat juga. Dan, yang membuatnya terkejut adalah ketika Krishna berdiri tegak dibelakangnya dengan tatapan yang tidak bisa di eksplanasikan dengan kata.
“Kamu dari mana saja sih?” heran Kandita.
“Maaf! Apakah aku masih bisa memandangi kamu seperti ini?” tanya Krishna datar, dan ternyata dengan kalimat itu membuat Kandita tersentuh dan menitikkan air mata.
“Kenapa nangis? Kereta nya masih lama ‘kan? Aku mau ngobrol sama kamu!” kata Krishna. Nggak biasa-biasanya Krishna bersikap seperti ini, seperti ingin pergi jauh.
“Langsung saja! To the point. Disini!” pinta Kandita.  Krishna menatap dalam kepada Kandita, lalu mengambil selembar kertas, surat tugasnya dan memberikan kepada Kandita.
“Jadi, kamu mau pergi?” tanya Kandita dengan beberapa titik air mata yang sudah hampir jatuh dari wajahnya. Dan benar saja, setetes air mata jatuh membasahi surat tugas itu, jatuh tepat di nama tunangannya, dan merusak komponen tinta yang ada disekitarnya.
“Kenapa harus kamu?” tanya Kandita sambil menyeka air matanya.
“Karena hanya aku yang sanggup!” Krishna mencoba meyakinkan.
“Ada yang bisa dibantu?” tanya seorang paruh baya yang tiba-tiba ada di dekat mereka. Pak Darman.
“Ya, saya tahu kalian tidak berpacaran! Kalian langsung bertunangan!”
“Pak Darman?” heran Kandita.
“Kalian masih satu tahun lagi ‘kan menikahnya? Lima bulan sih sebentar Kandita!” hibur pak Darman.
“Iya pak!” meski sebenarnya Kandita tidak bisa menerima perkataan pak Darman.
“Besok jam makan siang, datanglah ke kantor kami! Perpisahan!” kata pak Darman singkat.
“Ya, pak! Saya usahakan!” singkat Kandita.
            Kereta commuter line tujuan Bogor, masih ramai seperti biasa. Krishna mengajak Kandita untuk bersandar di pintu sebelah kiri, karena pintu di sebelah kiri tidak akan dibuka, kecuali jika banyak penumpang yang masuk dari stasiun Manggarai. Seperti biasa, Kandita memeluk erat Krishna, seakan tidak ingin kehilangan tunangannya itu.
            Hal terindah bagi Kandita adalah bisa berpelukan dengan tunangannya di kepadatan kereta commuter line, dan lagu When You’re Gone dari Avril Lavigne masih mengalun seiring irama kereta, membuat Kandita terus menerus menitikkan air matanya, dan berkali-kali Kandita menyeka air matanya itu dengan baju yang melekat di dada Krishna.
“Kita makan dimana?”
“Langsung pulang sajalah! Aku nggak laper!”
“Terakhir kamu makan kapan?” tanya Krishna.
“Tadi siang!”
“Tuh, kamu harus makan! Jangan kayak anak kecil gitu lah!”
            Janjine ora tenanan, jebule kriwikan dadi grojokan. Saben-saben dielingke nanging sajake kok anteng wae; pulo-pulo wis bejaku, wis pancen dadi nasibku. Tak suwung marang sliramu, ojo dadi rutiking atimu. Iwak cucut wadahi karung, becik mbacut tinimbang wurung, aduh mas tinimbang wurung. Ning pasar kok tuku cipir, jo samar yen ora tak pikir, aduh dik ojo kuatir. Manuk gagak kok ngaku merak, pancen sengojo pancen dijarak aduh, mas sakit atiku. Ono kadal mangani roti, ndang tak budal, ojo digondeli, aduh dik ojo digondeli.
            Di warung bakso yang letaknya tidak jauh dari stasiun Bojonggede, lagu itu masih bersenandung dari music player milik penjaja bakso itu. Krishna hanya mesam-mesem.
“Kenapa kamu?” heran Kandita.
“Nggak kenapa-kenapa kok!”
“Jadi, besok kamu libur?”
“Pak Darman bilang aku harus istirahat kok!”
“Ya sudah kalau begitu!” kata Kandita yang langsung menyudahi makannya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
            Sudah jam delapan malam, dan Kandita baru sampai di rumahnya, Krishna sudah mantap untuk pergi, dia ingin berpamitan dengan calon mertuanya, pak Suyatno dan istrinya. sudah layak dan sepantasnyalah Krishna melakukan itu. Kebetulan, pak Yatno baru turun dari tugasnya.
“Tugas apa Krish?” tanya pak Yatno.
“Menyiapkan bakal perusahaan kami pak! Disana akan dibuka cabang baru!”
“Berapa lama?” tanya pak Yatno sambil menghisap dalam rokoknya.
“Lima bulan pak!”
“Ya sudah! Kamu hati-hati! Jaga diri disana, di tanah orang, jangan macam-macam!” katanya sambil membuang abu rokok yang ada di rokoknya.
“Iya, pak!”
“Bapak restui kamu pergi! Kamu sudah bilang orangtuamu belum?” tanya pak Yatno.
“Belum, pak!”
“Belum?” heran pak Yatno. “Mbok yo kamu kasih tahu mereka dulu!”
“Iya, pak! Nanti sampai di rumah, saya akan langsung bilang!”
“Ya sudah! Bapak mau istirahat dulu ya!”
“Iya, pak!” kata Krishna yang masih duduk di sofa yang ada di teras rumah itu. Dia merapatkan duduknya ke Kandita, dan meraih tangan kekasihnya itu dengan lembut.
“Kamu hati-hati ya!” kata Kandita pelan, sangat pelan sampai-sampai Krishna tidak dapat mendengarnya.
“Kenapa?” heran Krishna.
“Iya, kamu hati-hati disana! Jaga diri kamu baik-baik!”
“Kamu juga ya! Aku pasti jaga diri!”
“Ya!”
“Kalau nanti aku pulang, kamu mau jemput aku di bandara?”
“Aku nggak tahu bisa atau nggak!”
“Kok begitu?”
“Kalau tiba-tiba aku ditugaskan keluar seperti kamu ini, bagaimana?”
“Kamu juga harus bisa jaga diri ya!” jawab Krishna sambil mengecup kening Kandita.
“Ya, aku pasti jaga diri baik-baik!” kata Kandita dengan mantap.
            Krishna pun pulang, meninggalkan rumah kekasihnya. Memang berat untuk meninggalkan senyuman Kandita. Tapi tatapan mata Kandita selalu mengisyaratkan kepada Krishna bahwa senyuman itu bukanlah senyuman yang terakhir.
            Waktu sudah menunjukkan jam sembilan malam. Krishna baru sampai di rumahnya. Ibu dan bapaknya belum tidur, masih menyaksikan acara kesukaannya di pesawat televise yang ada di ruang tamu rumah itu.
            Krishna memberi salam setelah sebelumnya melepas sepatu dan kaus kakinya, kemudian dia duduk di sofa menghadap kedua orangtuanya.
“Ono opo le?” tanya bapaknya.
“Krishna dikirim ke luar kota, pak! Bu!”
“Berapa lama?” tanya bapaknya.
“Lima bulan, pak!” singkatnya.
“Kemana?”
“Kalimantan!”
“Sama siapa?”
“Teman kantor pak!”
“Kamu sudah bilang Kandita?” tanya bu Suroto.
“Sudah bu!”
“Kamu harus jaga diri baik-baik ya disana!”
“Iya, pak! Krishna akan jaga diri baik-baik!”
“Sudah! Itu saja, kamu istirahat lebih baik! Daripada disini nanti kamu kecapean!” kata bapaknya.
“Iya, pak!”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
            Tiba waktunya acara perpisahan yang direncanakan oleh Pak Darman beserta jajarannya. Melepas Krishna dan Nissa untuk bertugas di Kalimantan. Turut serta di acara siang itu Kandita, tunangan Krishna.
            Awalnya, Kandita menganggap Nissa adalah teman Krishna, tapi ketika dia mendengar bahwa Nissa yang ditugaskan bersama Krishna, kepercayaannya kepada Krishna tiba-tiba menurun, karena Krishna belum pernah menceritakan soal Nissa sebelumnya.
            Apalagi, Krishna dan Nissa sudah sangat dekat. Memang Krishna menganggap teman-teman kantornya adalah saudara-saudaranya. Apalagi Krishna sudah menganggap Nissa sebagai kakak perempuannya. Tapi, bagaimana dengan Nissa? Apakah selama ini gadis itu menganggap Krishna sebagai adik laki-lakinya?
“Oh, ini ya Krish, tunangan loe! Maaf ya kemarin gue nggak bisa datang!”
“Ya, nggak kenapa-kenapa bu!”
“Panggil Nissa aja! Nggak usah pakai ‘bu’ oke!” kata Nissa.
“Oh, iya!”
“Jadi, saya pinjam tunanganmu dulu ya!” canda Nissa. Berani-beraninya kamu. Geram Kandita, tentu saja dalam hatinya. Kalau tidak di kantor Krishna, mungkin Kandita sudah mendamprat habis Nissa dengan logat Surabaya yang masih ada di lidahnya. Tapi pak Darman segera menjawil Nissa dan memanggil anak buahnya itu ke dalam ruangannya.
“Tunangannya Krishna itu belum terlalu kenal sama kamu! Jangan diajak bercanda dulu!” katanya sambil menghela nafas panjang.
“Iya, pak! Saya minta maaf!”
“Jangan ke saya! Ke orangnya langsung!!”
“Oh, iya pak! Terima kasih sudah diingatkan!”
            Dengan penuh rasa penyesalan, Nissa keluar dari ruangan pak Darman. Meski begitu, dia berusaha untuk menutupi perasaannya itu dengan keceriaan yang ada di wajahnya. Mencari Kandita, dan Krishna dia ingin menyampaikan rasa penyesalannya, tapi sepertinya belum ada gunanya.
“Kalau kamu mau, nggak usah pinjam-pinjam segala! Ambil saja dia! Aku sudah nggak butuh!” tukas Kandita kepada Nissa. Dia lalu berlari keluar kantor itu dan langkahnya terhenti ketika dia mendengar Krishna mengokang pelatuk pistol yang dimilikinya dan mengarahkan ke kepalanya sendiri.
“Meski bukan pistol nyata, butir peluru ini akan bersarang di kepalaku, dan mungkin aku akan mati! Aku rasa lebih baik aku mati, jika aku harus hidup tanpa kamu!”
“Kenapa kamu bilang begitu?” tanya Kandita sambil menyeka air matanya.
“Karena kamu yang memaksaku untuk mengatakan ini!”
            Dengarkan laguku, isi hatiku. Jangan kau selalu bimbang dan ragu. Ingatlah selalu kata-kataku. Biar aku pergi KU TETAP MILIKMU. Kenapa slalu bimbang dan ragu, jangan kau begitu. Percaya padaku. Pak Darman memang pandai memilih lagu yang tepat untuk perpisahan sepasang kekasih yang sedang mencintai. Karena dulu, dia juga pernah mengalami apa yang dialami oleh bawahannya itu.  
            Kandita masih memandangi Krishna dengan tatapan nanar. Dilihat sekelilingnya, pandangannya mulai kabur, karena air mata yang mulai memenuhi bola matanya. Kali ini dia tidak berpura-pura, dia benar-benar tersinggung akan apa yang dikatakan oleh Nissa.  
“Kandita, ayolah!” pinta Krishna.
“Saya seorang wanita! Dan kamu juga wanita! Bisa kita berbicara sebagai seorang wanita?” pinta Nissa. Tatapan Kandita masih tidak mengenakkan, memandang Nissa sebagai lawannya, sebagai orang yang ingin merebut kekasihnya.
“Ada apa?” tanya Kandita datar.
“Saya minta maaf! Saya hanya bercanda!”
“Lain kali, kalau ingin bercanda kamu harus melihat siapa dan kapan! Saya tunangannya Krishna, dan di saat seperti ini kamu mengeluarkan candaan yang tidak semestinya!”
“Ya, aku minta maaf!” kata Nissa dengan penuh penyesalan.
“Ya sudah!” Kandita berdiri, diikuti oleh Nissa.
“Tolong jaga Krishna! aku harap, kamu bisa selalu mengingatkan dia tentang aku!”
            Aku harap, kamu bisa mengatakan kepadanya bahwa aku disini akan selalu menunggunya. Aku harap, kamu selalu mengatakan kepadanya bahwa aku tunangannya. Bahwa aku adalah calon ibu dari anak-anaknya. Tapi semua akan berdusta, karena cinta itu akan berada di tengah-tengah kedustaan. Apakah cinta itu akan tetap bersemi meski berada di tngah-tengah dusta. Andai cinta itu tetap bersemi, apakah yang dapat membuatnya bertahan. Adakah kesetiaan dan ketulusan saja cukup untuk membuat cinta tetap bersemi dalam lembah yang penuh dengan kemunafikan? Bagaimana jika kemunafikan dan kedustaan itu malah mengalahkan kesetiaan dan ketulusan dalam diri Krishna?
“Ya, aku akan sampaikan semuanya!”

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Selasa, 30 September 2014

Sekuntum Cinta Di Tengah Dusta (1)

I
            Sore itu di stasiun Sudirman, matahari mulai merambat ke arah barat stasiun Sudirman, menelisik setiap sudut stasiun itu. Jadwal baru, sistim baru, dan tariff baru hari itu baru diberlakukan. Meski masih banyak penumpang yang belum mengerti tentang hal-hal teknis nya. Setelah menuai banyak kontroversi penghapusan KRL Ekonomi dari jagad perkeretalistrikan di JABODETABEK, akhirnya cara itu belum diberlakukan.
            Kandita masih berdiri tegak disamping tunangannya. Rambutnya yang panjang diikat dibalik pundaknya, kacamata dengan frame warna biru gelap masih melindungi kedua bola matanya dari debu yang akan dikibaskan oleh kereta, disamping itu, kacamata itu juga berfungsi untuk membantu pengelihatannya.
“Kamu nanti mau langsung pulang?” tanya Kandita.
“Kenapa memangnya? Kepo banget deh!” ledek Krishna.
“Kamu begitu ya! Nanti lihatin saja deh!” tantang Kandita.
“Hm, ngambek?” ledek Krishna lagi. “Kamu makin cantik kalau lagi ngambek gitu!” gurau Krishna.
“Maksud kamu?”
“Ya, kamu ngambek saja terus biar kelihatan cantik!”
“Ih, awas lho ya!”
            Mereka tidak memerlukan fase berpacaran, karena  menurut Krishna, saat Kandita memproklamirkan bahwa Krishna adalah pacar barunya, hal itu sudah benar-benar terjadi pada mereka berdua, dan makan bersama, berangkat bersama adalah fase pacaran, meski tidak sejati dan sempurna karena belum ada kesepakatan diantara mereka untuk menjalin cinta.
Pakar-pakar amologi, sebut saja pakar Komunikasi Amologi menganggap harus ada sebuah instrumen normatif sebagai materai pengesahan hubungan seorang pria dan wanita yang sudah lama kenal, apakah itu sahabat, pacar, tunangan, atau hanya sekedar seorang mahasiswa yang kebetulan mencari buku yang sama dengan apa yang dicari oleh seorang mahasiswi yang tidak terlalu dikenalnya, tanpa pernah mereka tahu kenapa bisa mencari buku yang sama.
Sementara saudara mereka, para pakar amologi praktis, sebut saja praktisi Komunikasi Amologi menganggap bahwa instumen-instrumen normatif tersebut tidak terlalu diperlukan dalam sebuah hubungan, karena semakin lama seorang pria mengenal seorang wanita, mereka akan semakin dekat, dan kedekatan inilah yang membuat seseorang tidak usah menyampaikan instrument normatifnya, karena semua akan berjalan selaras sesuai dengan alam.
Jika memperdebatkan dua hal diatas, sama saja memperdebatkan dua hal yang belum tentu benar, dan dua hal yang belum tentu salah. Amologi praktis lahir untuk mengobati sebuah kebingungan bathin Amologi teoritis yang pada waktu itu Amologi teoritis belum terlalu berkembang, hanya mempelajari cinta secara universal, tanpa tahu bagaimana cara menyampaikan cinta kepada komunikan, maka dari masalah itu lahirlah Komunikasi Amologi. Tanpa tahu bagaimana mengatasi sebab akibat kekalutan seseorang yang sedang jatuh cinta, maka dari masalah ini lahir psiko-amologi. Tanpa tahu bagaimana cara mengatasi cinta yang timbul di dalam sebuah masyarakat, dari masalah ini anthropo-amologi dan sosio-amologi lahir. Tanpa mengetahui bagaimana seseorang melakukan kejahatan karena cinta, lahirlah krimino-amologi.
Tapi semua ilmu tersebut tidak dapat mendefinisikan keagungan cinta, karena keagungan cinta itu terletak pada misteri, jika misteri sudah terpecahkan, musnahlah keagungan cinta, dan semua itu hanya akan menjadi sebuah anekdot lima huruf, satu kata CINTA (Cipokan Itu Najis Tapi Asik) eh, salah ya. Jadi, cinta tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata, melainkan untuk dihayati, dengan hati kita, dirasakan, dinikmati, dan dicintai. Adapun ilmu cinta, tidak dapat dinalar dengan otak manusia, tapi dirasakan dengan hati yang tulus dan murni. Ada beberapa cara bagi seseorang untuk mengerti cinta itu; pertama orang tersebut harus memiliki kemurnian dan ketulusan, yang kedua orang tersebut harus mau menerima cinta dengan segala kelemahan dan kelebihannya, dengan indah dan buruknya, meski begitu tidak akan ada yang mampu memahami keagungan cinta secara bulat, dan utuh. Sekali lagi, ilmu-ilmu diatas membantu manusia untuk memahami cinta, sekalipun tidak utuh.
“Kita makan di rumah ku ya!” ajak Kandita.  
“Siapa yang masak? Kemarin lagipula sudah makan di rumah kamu ‘kan! Aku nggak enak sama ibu! Punya calon menantu bisanya hanya numpang makan!”
“Terus kamu maunya bagaimana?”
“Kita beli nasi uduk yang di dekat stasiun bagaimana?”
“Hm, boleh kok! Aku ke ATM sebentar ya!”
“Ngapain ke ATM!” heran Krishna sambil meraih tangan Kandita dan menariknya kembali, hingga Kandita hampir menabrak Krishna.
“Kenapa memangnya??”
“itu keretanya sudah datang sayang!”
            Kereta commuter line tujuan Depok itu sudah padat, karena sudah terlalu jauh jarak tempuhnya, dari Jatinegara, berputar melalui Pasar Senen, Tanah Abang, dan Sudirman, jadi mau tidak mau Kandita harus menggenggam erat tangan Krishna. Dia tidak ingin kehilangan tunangannya itu, jadi dia menggenggamnya erat-erat. Krishna lalu membawa Kandita menelusup kerumunan penumpang di kereta itu, masuk ke sisi kiri kereta, karena sisi kiri kereta dibuka hanya di stasiun Manggarai. Di stasiun Tebet sampai Depok, pintu kereta sebelah kiri tidak akan dibuka, kecuali dari stasiun Manggarai pintu memang sudah dibuka paksa oleh penumpang. Krishna menaruh tasnya di tempat yang sudah tersedia, dan dia pun membantu Kandita menaruh tas nya, kemudian mereka saling menatap, dan tersenyum, saling meyakinkan satu sama lain dengan satu kedipan mata bahwa ‘akulah cintamu!’
            Tangan mereka tertaut dan seakan lengket satu sama lain, seperti pantograph dan kabel Listrik Aliran Atas, jika terpisah, maka mereka tidak akan bisa menjalankan fungsinya. Dengan tangan kirinya, Kandita dapat merasakan cincin tunangan Krishna di jari manis tangan kirinya. Begitupun dengan Krishna yang dapat merasakan cincin tunangan Kandita yang masih melingkar di jari manis tangan kanannya. Sungguh indah apa yang dirasakan oleh Kandita dan Krishna saat itu. penulis buku ini saja belum pernah mengetahui indahnya masa-masa berpacaran di kereta.
            Kandita sudah memiliki Krishna, maka dia akan mencintainya dengan segala ketulusan hati, kesanggupan jiwa dan kepenuhan raga. Tidak ada kebahagiaan lain yang dirasakan Kandita saat itu selain dari respon yang disampaikan oleh Krishna, memang Kandita tidak menyatakannya secara langsung, tapi feed back dari Krishna lah yang membuatnya terhempas ke samudera cinta yang tidak terbatas. Terkapar di padang rumput cinta yang dibawahnya mengalir sumber-sumber mata air pilihan
“Mbak, lagi dimana?” tanya Marsha dari hand phone nya.
“Masih di kereta dik! Kenapa?”
“Nanti kalau pulang, aku mau titip dong!”
“Titip apaan dik? Kamu ada-ada saja sih!”
“Mie instant mbak! Ibu belum pulang nih!”
“Memang ibu kemana?”
“Kan ibu ke tempat budhe di Bandung!” risau Marsha.
“Oh, ya sudah nanti ya!”
“Mbak masih jauh nggak? Sekarang sampai dimana?”
“Baru masuk Tanjung Barat sih dik!”
“Ya sudah aku tunggu ya mbak!”
“Iya! Dani sudah tidur?”
“Belum! Masih main internet tuh!”
“Bilangin jangan terlalu banyak main internet! Belajar yang bener!” kata Kandita.
“Iya, mbak! Nanti Marsha bilangin!”
“Ya sudah ya!”
            Dan mereka, Kandita dan Krishna kembali bertatapan, lalu tersenyum. Belum pernah mereka merasakan kebahagiaan sebahagia itu. mereka tidak dapat menjelaskan apa yang mereka rasakan, kehangatan, kemesraan, kekhawatiran, dan masih banyak lagi hal-hal baik yang terjadi saat itu. dalam hal ini, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya jika pendeskripsian tentang kemesraan Krishna dan Kandita di kereta ini tidak dapat membuat pembaca membayangkan secara nyata, dikarenakan penulis belum pernah mengalami apa yang dialami oleh Krishna dan Kandita.
“Kenapa?” tanya Krishna.
“Di rumah adik-adikku hanya berdua! Bapak dan ibu lagi ke Bandung!”
“O, jadi gimana nih?”
“Aku akan masak untuk kita!” kata Kandita dengan penuh kepastian.
“Oh, begitu! Berbahagialah orang yang nanti akan menjadi suami kamu Kandita!”
“Dan berbahagialah kamu, karena kamu yang menjadi suamiku!” kata Kandita menjawab perkataan Krishna.
            Selamat datang di stasiun Citayam, agar diperhatikan jalur satu akan segera masuk KRL Ekonomi tujuan Jakarta Kota. Bagi penumpang yang baru turun dari kereta yang ada di jalur dua, harap jangan menyeberangi jalur satu, akan segera masuk KRL ekonomi tujuan Jakarta Kota. Jalur dua KRL commuter line tujuan Bogor, selesai naik turun penumpang, terima aspek sinyal hijau AMAN silahkan berangkat!
            Kandita dan Krishna menjejakkan kakinya di peron tengah stasiun Citayam, masih ramai petang itu. Situasi di stasiun itu bisa dikatakan PAMER SUSU alias Padat Merayap Susul Susulan. Kandita dan Krishna tidak bisa bergerak kemana-mana, peron tengah diisi penuh oleh penumpang yang akan pulang ke rumah mereka masing-masing, dan di sebelah kiri dan kanan mereka ada kereta yang masih menunggu lampu sinyal berwarna hijau, jadi Krishna memutuskan  untuk menunggu disitu.
“Sudah, sudah agak sepi!” kata Kandita.
“Ya, kasihan adik-adikku!” kata Krishna.
“Itu adikku Krishna!”
“Ya, nanti kan jadi adikku juga!” gurau Krishna.
“Benar juga sih!”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
            Waktu sudah menunjukkan jam delapan malam lewat sepuluh menit, Kandita yang belum berganti baju masih ubek di dapur, memasak untuk makan malam. Menu yang dimasak Kandita tidak terlalu istimewa, tumis kangkung, ayam goreng yang mereka beli di pasar Citayam, dan kerupuk yang dibeli oleh Marsha di warung yang tidak jauh dari rumahnya.
“Ada yang bisa dibantu?” tanya Krishna.
“Tolong carikan piring besar!” pinta Kandita.
“Disini mas!” kata Marsha sambil menunjukkan rak tempat penyimpanan piring-piring besar.
“Oh, iya dik!” singkat Krishna dan langsung mengambil benda yang dimaksud.
            Meja makan di rumah Kandita berbentuk persegi panjang, berukuran kurang lebih satu kali dua meter, dengan tinggi kira-kira seratus dua puluhan sentimeter. Di atas meja makan itu sudah terhidang beragam jenis makanan yang sudah disebutkan.
“Ayo dik, makan duluan!” kata Krishna sambil bergerak ke wastafel, ingin mencuci tangannya.
“Iya mas!” kata Dani yang langsung mengambil piring dan nasi, serta lauk pauknya.
“Tadi sore kamu sudah makan dik?” tanya Kandita.
“Sudah mbak! Tapi nggak kenyang! Si Marsha nggak bisa masak sih!” ledek Dani.
“Manggilnya pakai mbak ya! Jangan Marsha Marsha aja!” kesal Marsha sambil menjewer Dani.
“Sudah, sudah! Dimakan saja! Mbak mu sudah masak enak nih!” kata Krishna yang baru kembali dari wastafel, tangannya masih lembab oleh air yang digunakan untuk membersihkan tangannya.
“Dia juga sih mas!!” kesal Marsha.
“Iya iya!! Sudah makan saja! Nggak usah banyak ngomong!”
            Marsha serta Dani makan dengan lahapnya. Ibunya memang menyediakan sayuran mentah, dan bahan-bahan makanan dirumahnya. Tapi Marsha dan Dani bahkan tidak tahu harus diapakan sayuran itu. Ibunya telah memasak untuk makan siang, untuk makan malam paling tidak, mereka harus menggantungkan diri kepada Kandita, karena baru Kandita yang sudah dibekali kemampuan memasak.
“Mbak, jadwal kereta katanya berubah semua ya?” tanya Marsha.
“Iya! Kenapa memangnya?”
“Justru aku nanya ke kamu mbak!” gumam Marsha.
“Memang kenapa dik?” tanya Krishna.
“Pengen tahu aja mas!”
“Kepo banget sih! Sudah cepat makannya!”
            Seusai makan, Kandita langsung mencuci piring bekasnya makan, serta piring adik-adiknya sekalian, dan piring tunangannya. Kandita merasa dia harus melakukan itu semua, bukan untuk carmuk di depan calon suaminya. Mereka akan menikah tahun depan, jika tidak ada halangan yang berarti, tapi jika banyak halangan, mungkin akan lama jadinya. Halangan-halangan itu justru muncul setelah mereka bertunangan. Kenapa begitu? Biar asik!
“Kamu besok ada di rumah nggak?” tanya Kandita sambil masih menaruh piring-piring yang baru dicucinya di rak piring.
“Kamu cantik kalau begitu!” kata Krishna saat melihat Kandita dengan rambut diikat kebelakang, dengan beberapa helai rambut yang jatuh menutupi wajahnya. Kemeja lengan panjangnya dilipat selengan, dengan tangan yang masih berlumuran sabun. Apalagi, ketika pipinya merona merah saat mendengar pujian dari tunangannya itu.
“kalau nggak begini, aku nggak cantik?”
“Bukan begitu maksudku!!”
“Terus apa?” kata Kandita sambil menatap Krishna dengan senyum dikulum.
“Kamu kenapa?” heran Krishna.
“Pertanyaan ku tadi belum kamu jawab!!” kesalnya sambil menjewer Krishna.
“Aduh, iya iya! Aku ada di rumah besok! Memangnya kenapa?”
“Kok kamu tanya begitu sih?” heran Kandita sambil membersihkan tangannya. “Memangnya kamu doang yang bisa main terus ke tempat calon mertua kamu? Aku ‘kan juga mau!” kini Kandita mengeringkan tangannya dengan mengibaskannya, lalu menyeka di kemeja nya.
“Iya, boleh kok! Yang bilang nggak boleh siapa?”
“Ya sudah! Besok aku akan ke tempat kamu!”
“Mau ngapain?”
“Aku punya urusan sama calon mertua ku!” kata Kandita sambil meninggalkan Krishna masuk ke kamarnya.
            Malam semakin larut, sudah jam setengah sepuluh, tapi belum ada kabar dari pak Suyatno, dan istrinya. sementara Krishna sudah tidak bisa menahan kantuknya, dan meletakkan kepalanya pada sandaran sofa ruang tamu rumah itu.
“Sudah, kamu pulang saja! Nggak enak sama tetangga! Kita nih belum nikah!”
“Kamu yakin nggak kenapa-kenapa?”
“Yakin! Ada Dani, ada Marsha!”
“Ya sudahlah! Aku ijin pulang dulu ya!” kata Krishna sambil mengecup kening Kandita.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
            Pagi, jam setengah enam. Kandita sudah berada di depan rumah Krishna, bu Suroto, ibu nya Krishna sudah membukakan pintu untuk Kandita dan Marsha yang pagi itu sudah selesai berolahraga, dengan t-shirt berwarna merah jambu, dan Kandita memakai t-shirt dengan warna abu-abu. Terlihat jelas mereka sudah melakukan kegiatan olah raga rutin mingguannya, keringat membasahi t-shirt mereka, hingga tercetak jelas tali bra yang ada di punggung mereka.
“Eh, ada Marsha juga tho!” kata bu Suroto sambil mempersilahkan mereka untuk masuk.
“Mas Krish kemana budhe?” tanya Marsha.
“Mas mu masih tidur tuh!” kata bu Suroto sambil menunjuk kamar Krishna.
“Bapak dines bu?” tanya Kandita.
“Iya, sebentar lagi juga pulang kayaknya!”
“Itu di depan ada tetangga baru bu?”
“Oh, iya kayaknya! Baru datang pagi ini kok!”
“Lalu, aku harus bantu ibu masak apa nih?” tanya Kandita.
“Sayur sop, dan bakwan jagung! Kamu bisa ‘kan?”
“Bisa bu!”
“Terus, Marsha ngapain budhe?” tanya Marsha.
“Kamu nanti bantu budhe cuci piring ya!”
“Siap budhe!”
“Ya sudah!”
            Kandita mulai tugasnya dengan menghaluskan bumbu-bumbu untuk sop. Bawang merah, bawang putih, lada, ketumbar, garam, vetsin, kemudian bumbu yang sudah dihaluskan itu ditumis, sementara kuah kaldu sudah siap untuk dimasukkan sayuran dan bumbu yang sudah ditumis tadi. Cukup mudah melakukan semua itu, karena Kandita biasa membantu ibunya memasak sayur sop untuk makan sekeluarga. Sejak lulus Sekolah Menengah Atas, Kandita diajarkan hal-hal itu oleh ibunya.
“Sudah, bu! Tinggal tunggu matang nya saja!” kata Kandita dengan ribuan peluh di keningnya.
            Dan tiba-tiba Kandita kembali merasakan lembut jemari tangan Krishna mendarat di keningnya, menyeka ribuan peluh yang membasah di keningnya. Pipinya merona merah setelah mendapat tatapan lembut Krishna. ‘Tuhan, aku harap Krishna lah yang cocok menjadi bapak dari anak-anak yang nanti akan Kau titipkan kepadaku’. Kata Kandita dalam hatinya.
“Ih, malu tau sama ibu!” kata Kandita sambil meraih tangan Krishna dan tidak ingin melepaskannya.
“Kalian sudah tentukan hari baik dan bulan baiknya?” kata bu Suroto pura-pura tidak tahu apa yang sedang terjadi.
“Belum bu!” kata Kandita tersipu.
            Pagi itu, jarum jam di ruang tamu rumah Krishna berada di antara angka enam dan tujuh. Sarapan sudah disiapkan oleh Kandita, dan calon ibu mertuanya. Mereka sudah saling mengenal. Jdi kemungkinan ada gesekan-gesekan antara mertua dan menantu sangatlah sedikit.
“Sudah, sarapan dulu! Bapak pulangnya masih nanti siang!”
“Ya, mari bu! Saya panggil Krishna dulu bu, di depan!” kata Kandita sambil berjalan menuju teras rumah itu.
“Kamu sudah bilang ibu mu ‘kan?” tanya bu Suroto kepada Marsha
“Iya budhe! Sudah!”
“Hm, baguslah!”
            Di teras rumah itu, Kandita masih memandangi calon suaminya, calon bapak dari anak-anaknya, dia masih berdiri disamping Krishna, menghirup sejuknya udara pagi.
“Kamu tadi dari mana?” tanya Krishna.
“Dari rumah!” dan mereka diam, merasakan satu sama lain.
“Kamu nggak nolongin tuh tetangga baru kamu?” tanya Kandita.
“Pertanyaan ini timbul dari dalam diri kamu, atau dari orang lain?” tanya Krishna.
“Kamu ditanya kok bales tanya sih??” kesal Kandita.
“Dia tidak meminta, jadi dia tidak akan menerima!”
“Kenapa begitu?”
“Karena jika kamu meminta, kamu akan diberi. Jika kamu mencari, maka kamu akan mendapatkan. Dan jika kamu mengetuk, maka pintu pasti tebuka untuk kamu!” kata Krishna.
“Hhh, susah ngomong sama kamu! Sarapan dulu yuk!” ajak Kandita.
“Iya!”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
            Masih terlihat kesibukan di samping rumah tetangga yang berada tepat di depan kiri rumah Krishna, siapakah tetangga baru Krishna? Kandita hanya menyimpan beribu pertanyaan itu didalam hatinya. Sudah jam setengah sepuluh, pagi itu. Dan Krishna baru keluar dari kamar mandi, selesai mandi. Kemudian duduk disamping Kandita, di teras rumah itu. Mereka sudah menyusun rencana untuk pergi jalan-jalan siang itu. Melihat pemandangan alam, destinasi wisatanya adalah Bogor Botanical Garden. Satu hal yang membuat Kandita ingin mengunjungi tempat itu adalah keheningannya, jauh dari hiruk-pikuk kota Jakarta. Meski letaknya di pusat kota Bogor, tempat itu memiliki aroma mistik yang kental bagi sebagian orang.
“Assalamualaikum! Selamat pagi!” seseorang menyampaikan salam masuk di depan rumah Krishna.
“Waalaikumsallam! Ya, mas! Ada yang bisa dibantu?”
“Saya Yusuf mas, orang baru disini!”
“Oh, ya! Mari silakan masuk dulu mas! Mari, silakan duduk!” kata Krishna yang belum mengetahui siapakah Yusuf sebenarnya.
“Ada yang bisa dibantu mas?” tanya Krishna ramah.
“Saya ingin bertemu pak RT disini!”
“Oh, beliau memang sedang pergi! Setiap hari Sabtu minggu ke dua!”
“Maaf, dengan mas siapa?” tanya Yusuf ramah.
“Saya, Krishna! dan ini Kandita, tunangan saya!”
“Sudah lama tinggal disini mas?”
“Ini sih tempat orangtua saya mas! Kebetulan saya belum menikah, jadi saya belum boleh tinggal serumah dengan Kandita!”
“Iya mas! Bisa repot urusannya!”
“Mas, mau minum apa? Teh ya!” Krishna menawarkan kepada tamunya itu.
“Nggak usah repot-repot mas!”
“Dik, tolong siapkan teh!” kata Kandita kepada Marsha yang langsung masuk ke ruang tamu dan membiarkan Krishna dan Yusuf berbincang.
“Mas tinggal disini dengan?” tanya Krishna.
“Istri saya mas! Kebetulan saya baru menikah tiga bulan yang lalu!”
            Pembicaraan itu terhenti ketika Marsha, membawakan tiga cangkir teh manis untuk Krishna, Yusuf dan pak Suroto yang baru pulang berdinas. Pak Suroto pun keluar dan ikut serta berbincang dengan mereka. Di lingkungan itu, pak Suroto adalah orang tertua dan paling dituakan. Yusuf tidak mengetahui hal itu, hanya karena pintu rumah pak Suroto lah yang terbuka, jadi Yusuf mengunjungi rumah itu.
“Mas, ini bapak saya! Dan ini adiknya Kandita! Kebetulan tadi mereka berolahraga, dan mampir kesini!”
“Maaf, dengan mas siapa?” tanya pak Suroto.
“Yusuf, pak!”
“Saya Suroto! Selamat datang, di perumahan ini, semoga mas Yusuf kerasan tinggal disini!”
“iya pak! Terima kasih sambutannya!”
“Sama-sama! Mari, silahkan diminum!” kata pak Suroto. Dan keluarga pak Suroto lah yang menjadi keluarga pertama yang dikenal oleh Yusuf.
“Mas Yusuf ini kerja di bidang apa sih?” tanya Krishna.
“Pertambangan! Aspal!”
“Pulau Buton ya?”
“Ya, setiap minggu terakhir, saya harus kesana!”
“Wah, hebat juga!”
“Sebentar, bapak masuk dulu ya! Kalian lanjut saja ngobrolnya!” kata pak Suroto memohon diri. Tak lama setelah pak Suroto masuk, Kandita keluar, menemani Krishna berbincang dengan Yusuf.
“Kayaknya kita seumuran ya?” tanya Yusuf.
“Sepertinya begitu!” kata Krishna.
“Sudah, panggil gue Ucup saja!” kata Yusuf.
“Iya cup!” sahut Krishna.
            Pertemuan pertama mereka itu membawa mereka kepada situasi kekeluargaan yang hangat, meski baru beberapa menit mengenal, mereka sudah dapat merasakan suatu ikatan bathin yang semakin erat, meski mereka tidak mengetahui kenapa dan bagaimana itu terjadi. Dan Yusuf pun memohon diri untuk kembali membereskan rumahnya, dan berjanji akan mengajak serta istrinya, dan memperkenalkan kepada pak Suroto yang baginya sudah merupakan orangtua ke-empat, setelah bapak kandungnya, guru-gurunya, dan mertuanya.
“Gelas kamu yang mana?” tanya Kandita.
“Ini!” kata Krishna sambil memberikan gelasnya, dan Kandita pun meminum teh yang belum diminum oleh Krishna.
“Tadi ngomongin apaan aja?” tanya Kandita.
“Banyak! Kerjaannya dia, lingkungan disini!”
“Dia sudah menikah?”
“Kamu cemburu kalau aku ngobrol sama dia? Sayang, aku masih normal!” gurau Krishna.
“Bukan begitu!” gemas Kandita. Sejak mengetahui kalau Krishna punya tetangga baru, ada yang mengganjal di hati Kandita, sebuah kegelisahan yang Kandita juga tidak tahu dari mana asalnya.
“Iya, dia sudah menikah kok!”
“Terus, kita kapan?” tanya Kandita.
“Besok!” gurau Krishna.
“Kamu bercanda terus ih!” keluh Kandita.
“Iya iya! Kamu sudah punya hatiku! Kenapa kamu takut kehilangan aku?”
“Begitu ya!”
“Lagipula, kita ‘kan belum mulai KPP” (Kursus Persiapan Perkawinan)
“Mangkanya, cepat daftar!”
“Kamu pasti sudah nggak sabar ya!” Selidik Krishna “Mangkanya jangan sering nonton film bokep!!” gurau Krishna.
“Mulai deh! Aku juga dapat film itu dari kamu! Sudahlah, aku mau mandi dulu!”
“Mandi dimana?”
“Di kamar mandi lah! Masa di depan rumah kamu!” kata Kandita datar “Baju ku masih ada di tempat kamu ‘kan?” tanya Kandita.
“Iya! Di kamar ku!”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
            Kandita sudah terlihat cantik dengan sackdress batik yang dititipkannya di lemari Krishna, Sabtu siang itu Krishna mengajak Kandita untuk plesiran alias jalan-jalan, yang jelas bukan nonton wayang, bukan juga nonton film G30S/PKI, apalagi film Kereta Api Terakhir, bukan juga film Janur Kuning, atau film perjuangan lainnya. Memangnya penulis buku Seuntai Harapan Di Ujung Waktu? Ngajak gebetannya nonton wayang semalam suntuk, ya sudah pasti gebetannya il feel sama dia. Hal itu disebabkan kurangnya pergaulan dari penulis. Ibunya adalah seorang konservatif, meski bapaknya seorang yang observatif tetap saja ibunya yang mengambil keputusan, jadi penulis buku itu hanya tahu film-film tersebut.  
“Dik, nanti kamu pulang dijemput Dani ya!” kata Kandita kepada Marsha yang masih asik  bermain handphone nya.
“Kok buru-buru sih? Mbok yo biar main disini sebentar gitu lho!” kata bu Suroto.
“Nanti malah bikin repot disini bu!”
“Nggak! Nggak kenapa-kenapa kok! Sudah lama ibu nggak lihat anak kecil!”
“Anak kecil? Budhe please deh! Aku ini sudah mahasiswi!” kata Marsha.
“Tuh, dik, dengerin! Kamu masih kecil! Jadi nurut sama orangtua!” ledek Kandita.
“Pak, bu! Krishna berangkat dulu!” Krishna memohon ijin kepada dua orangtuanya itu, diikuti oleh Kandita.
“Ya, ati-ati di jalan ya!” kata pak Suroto.
“Iya pak!” kata Kandita.
“Krish, kemana nih?” sapa Yusuf dari depan rumahnya.
“Cup, cabut dulu nih! malam mingguan!” kata Krishna.
            Krishna lalu mengendarai motornya. Mereka akan jalan-jalan, ya tempat wisata, nggak jauh-jauh. Kebun Raya Bogor, sekalian refreshing. Krishna memacu motornya melewati jalan Karadenan, karena jika mengikuti rel kereta jalannya terlalu sempit dan membahayakan. Kecepatan motornya masih di batas normal, lima puluh kilo meter per jam, tapi kenapa Kandita seperti takut terlempar dari motor Krishna? kenapa Kandita memeluk pinggang Krishna erat-erat? Ah, penulis buku Serangkai Kereta Menuju Stasiun Terakhir saja belum pernah merasakan hal ini, maklum dia belum punya motor jadi penulis Sekuntum Cinta Di Tengah Dusta tidak berani melangkahi seniornya untuk mengeksplanasikan kenikmatan ini. Bukan apa-apa, karena penulis kedua buku itu adalah orang yang sama.
“Naik motor capek juga ya!” keluh Krishna.
“Itu karena kamu jarang naik motor!” kata Kandita sambil menaruh helm nya di jok motor Krishna.
“Siapa bilang, bukannya setiap hari aku sudah naik motor?”
“Iya, tapi ‘kan nggak sejauh ini sayang!”
“Apa?”
“Iya, kamu ‘kan naik motor nggak sejauh ini!”
“Bukan! Tadi kamu manggil aku apa?”
“Kenapa sih memangnya?” gusar Kandita.
“Nggak, aku juga sayang sama kamu!”
“Ciyus? Miapah?” gurau Kandita.
            Kebun Raya Bogor sudah jauh berbeda keadaannya dari beberapa bulan yang lalu. Sudah banyak perbaikan disana-sini, di pinggir tempat wisata itu masih terdengar jelas deru kendaraan bermotor di sekitar jalan yang ada di Kebun Raya. Suara binatang liar masih terdengar jelas di balik rimbunnya pepohonan, semilir angin yang menggerakkan pohon-pohon itu mendesir menyentuh lembut tangan Kandita dan Krishna, dengan pasti Krishna meraih telapak tangan Kandita, dan menggenggamnya dengan lembut. Kandita terbuai dengan itu.
“Aku tunanganmu ‘kan?” tanya Krishna, dan Kandita semakin mengeratkan genggaman tangannya di tangan Krishna.
            Dari pintu masuk kebun raya Bogor, mereka mengikuti jalan beraspal ke arah timur, terdengar jelas deras air yang mengalir di sungai  Ciliwung, yang memiliki pusat di bendungan Katulampa.
“Kalau kita naik perahu dari sini, bisa sampai Manggarai nih!” kata Krishna.
“Ah, yang bener kamu?”
“Bener! Kamu nggak percaya! Coba saja!” gurau Krishna.
“Iya, terserah kamu deh!”
“Kamu sudah lapar belum?” tanya Krishna.
“Aduh, aku lagi diet tau. Nanti baju pengantin ku kekecilan ‘kan nggak enak!”
“Justru gendut itu seksi lho!”
“Ih, kamu ini!” katanya gemas, dengan mencubit telapak tangan Krishna dengan tangannya yang masih melekat di telapak tangan tunangannya itu.
“Kenapa kamu ngajak aku kesini?” tanya Kandita.
“Kamu nggak suka? Kita pulang aja yuk!”ajak Krishna.
“Bukan begitu maksudku!”
“Terus apa?”
“ya aku mau tau aja motivasi kamu ngajak aku kesini!”
“Kamu kayak apaan aja sih?”
“Terakhir kamu kesini kapan?” tanya Kandita.
“Kira-kira setahun lalu, sebelum Tania tunangan dan menikah!”
“Hm, jadi kamu ngajak aku kesini untuk mengenang apa yang kamu lakukan dengan Tania?”
“Memangnya aku ngelakuin apa?”
“Ya nggak tahu! Lha wong kamu yang jalan sama Tania!”
“Kamu dan Tania tuh punya kemiripan!”
“Kemiripan apa? Jelas-jelas cantikan aku!”
“Iya-iya! Kamu lebih cantik! Tapi kalian sama-sama kerja di Jakarta, dan nggak tahu ketenangan seperti ini!” sejenak Kandita mencerna perkataan tunangannya itu dan merasakan hawa sejuk disekitarnya.
            Belum pernah Kandita merasakan sedamai ini, tanpa bayang-bayang takut ketinggalan kereta, tanpa takut kecopetan, tanpa takut kehilangan tunangannya. Dan suara dedaunan yang ditiup angin seakan bersahutan dengan suara deru air yang mengalir di sungai Ciliwung yang selama dua hari kemarin diterpa hujan deras, bebatuan di sungai Ciliwung sudah tidak terlihat, ditelan air yang melebihi ambang batas normal.
            Sampai pada satu tempat duduk, dibawah dua pohon besar yang berhimpitan satu sama lain, letaknya tidak jauh dari petilasan Nyimas Ratu Galuh, istri dari Prabu Siliwangi, raja kerajaan Pajajaran yang terkenal dengan ilmu halimunan nya. Di tempat itu, Kandita menyandarkan kepalanya di bahu Krishna tanpa mau melepas genggaman tangannya. Satu kecupan dari Krishna belum membuat Kandita terkejut, dia malah memejamkan matanya dan menyampaikan keluhannya kepada tunangannya itu.
“Aku ngantuk!” dan Krishna membiarkan Kandita meletakkan kepala di pangkuan nya.
            Jika seseorang sulit untuk memulai kisah cintanya, maka orang tersebut akan sulit untuk mengakhirinya. Apakah benar? Apakah hipotesis itu akan terjadi didalam hubungan Krishna dan Kandita? Apakah kenyataan yang dialami oleh Krishna dan Kandita berjalan selaras dengan hipotesis itu? Jika selaras, maka tidak ada masalah di hubungan mereka, tapi kalau tidak selaras, inilah yang harus diteliti.
            Suara dedaunan masih bergesekan ditiup angin, dan suara air di sungai Ciliwung masih seperti beberapa menit yang lalu. Krishna terpana memandangi wajah Kandita, dia mendekatkan wajahnya ke wajah tunangannya yang sedang terlelap di pangkuannya, dekat, semakin dekat, bibir mereka hampir bersentuhan. Sebenarnya, Krishna ingin memberikan kejutan bagi Kandita yang sedang tertidur di pangkuannya, paling tidak sampai setetes air hujan jatuh ke tangan Kandita yang terlipat rapih di perutnya. Kandita membuka matanya dan tidak bisa menyembunyikan perasaannya ketika mata mereka terletak pada satu garis lurus, gugup. Akhirnya Kandita memutuskan untuk memejamkan matanya lagi, dan membiarkan Krishna mencium dengan caranya, tapi apa yang diharapkan Kandita belum terjadi.
“Kenapa kamu bangun?” tanya Krishna.
“Memang nggak boleh ya?” kata Kandita sambil memejamkan matanya.
“Aku ‘kan mau bikin kejutan untuk kamu!”
“Kejutan apa?”
“Pertanyaanku tadi saja kamu belum jawab!”
“Iya, aku kira sudah mau hujan!” Kandita masih belum membuka matanya. Ayo Krishna, lakukanlah! Ini moment yang tepat! Hujan, tolong jangan hancurkan kesempatan ini! Dan harapan Kandita benar terkabul. Dia merasakan lembut bibir Krishna tertaut di bibirnya, ditengah rinai gerimis yang semakin deras, membuat ciuman mereka semakin panas, liar seliar air di sungai Ciliwung yang mengalir sampai ke Jakarta. Mulai dari sentuhan, kecupan, dan sekarang ciuman itu berubah menjadi lumatan-lumatan yang semakin panas, lidah berpilinan dan gigi yang saling beradu, membuat cinta diantara mereka mulai bermetamorfosis menjadi nafsu, jika tidak di tempat umum kemungkinan besar ciuman itu akan berubah ke tingkat yang lebih tinggi. Krishna segera menghentikan itu, meski berat baginya.
            Kandita merasakan sesuatu hilang ketika bibir mereka terlepas, hanya satu yang dia miliki, yaitu tatapan Krishna yang seolah-olah mengatakan ‘aku akan memberikanmu cinta yang lebih dari ini!’ dan dia yakin akan itu. Mereka masih terbawa deras arus sungai cinta, paling tidak sampai Kandita sadar bahwa rinai gerimis semakin deras.
“Ayo, sayang! Gerimisnya makin deras!” kata Kandita sambil meraih tangan Krishna dan berlari di sepanjang jalan yang ada di kebun raya Bogor, dibawah rintik gerimis yang mulai deras, setiap detik, air yang tercurah semakin deras. Seperti cinta mereka yang semakin besar. Sampai di museum zoologi, mereka duduk berdampingan, jantung mereka berdetak keras entah karena mereka berlari atau mungkin karena ciuman mereka yang membakar gairah, tangan mereka masih tidak mau lepas satu sama lain dan mereka merasakan kehangatan di tengah hujan kota Bogor.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
            Sudah jam  tujuh, malam itu malam sabtu, waktunya orang berpacaran. Kandita memutuskan untuk pulang ke rumah orangtua Krishna, untuk mandi dan berganti pakaian, sackdress nya sudah basah enam  puluh persen, bergegas Krishna memasukkan motornya ke teras rumah bapaknya itu, dan  menebak bahwa tamu yang datang adalah Yusuf. Tebakan Krishna tidak salah, memang Yusuf yang bertamu malam itu, serta istrinya.
“Nah, ini Krishna! putera tunggal kami! Dan Kandita, tunangannya!” bu Suroto memperkenalkan anak dan calon istrinya itu kepada Yusuf dan istrinya.
            Apa yang dirasakan Kandita tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan oleh tunangannya itu, tercekat, seperti baru disambar petir. Mereka masih meyakinkan peralatan jasmaninya bahwa bukan dialah orang yang dilihatnya malam itu.
“Ta-ni-a” kata Krishna terbata.
“Hai, Krishna! Kandita! Apa kabar! Nggak nyangka ya kita bisa tetanggaan!”
“Kalian sudah saling kenal?” heran Yusuf, pak Suroto dan bu Suroto.
“Ya, kami lebih dari sekedar kenal!” kata Kandita kepada bu Suroto “Bu, mau ijin ke kamar mandi!”
“Iya ndhuk! Handuk mu masih di tempat jemuran ya!”
“Ya, bu! Terima kasih!” kata Kandita datar.
            Krishna lalu mengikuti Kandita ke tempat dimana keluarga itu biasa mengeringkan handuk, bahasa bekennya tuh di teder yaitu direntangkan biasanya di tempat panas untuk mempercepat proses pengeringan. Dia masih memandangi Kandita yang seolah-olah tidak menyukai kehadiran Tania di kehidupan mereka.
“Bagus dong! Tetanggaan sama mantan gebetan!” sindir Kandita.
“Kamu apaan sih! Lagipula dia sudah punya suami!”
“Lhoh kenapa? dia makin cantik lho! Dulu nggak begini ‘kan?” sejak menikah, Tania lebih sering berdandan, untuk suaminya tentu saja. Jadi dia terlihat cantik dimata suaminya.
“Kamu kok jadi begini sih?”
“Oh, iya suaminya dia kan setiap minggu ke berapa gitu pergi ke Buton, selama seminggu!! Jadi, selama seminggu dia menjanda!” sindir Kandita yang langsung masuk ke kamar mandi dan membilas tubuhnya. Jadi ini yang menjadi ganjalan Kandita sedari tadi pagi. Krishna menjadi tetangga Tania yang adalah istri Yusuf. Yang jadi pikiran Kandita saat Krishna mengatakan bahwa Yusuf harus pergi ke Buton setiap minggu ke-tiga, adalah istrinya. Secara otomatis Yusuf akan meninggalkan istrinya dan istrinya itu adalah Tania. Lalu, lalu, …..
            Sebenarnya Kandita tidak terlalu memikirkan apakah Tania yang menjadi tetangga Krishna. Dia hanya ingin memberi Krishna sebuah pelajaran, meski Krishna belum pantas untuk mendapatkan pelajaran itu, karena Krishna adalah tipe orang yang akan bertahan pada satu cinta, menurut Kandita lho ya. Kandita memang seorang yang pandai dalam memanipulasi perasaannya, di depan mata Krishna, dia pura-pura cemburu, dia ingin mengetahui sejauh mana kesetiaan Krishna kepada dirinya, dia ingin mengetahui sejauh mana Krishna berusaha untuk mengembalikan rasa cinta Kandita kepadanya.
“Ya sudah! Kamu pulang saja! Aku bisa sendiri kok!”
“Kandita, kamu kenapa?” heran Krishna.
“Aku nggak kenapa-kenapa sayang!” kata Kandita meyakinkan.
“Ya sudah aku pulang ya!” kata Krishna.

“Ada yang ketinggalan!” kata Kandita sambil memajukan keningnya, dan dengan mesra, sebuah kecupan hangat mendarat di kening Kandita. 

Senin, 29 September 2014

Sekuntum Cinta di Tengah Dusta (Sinopsis)


                Inilah Pengantar untuk SEKUNTUM CINTA DI TENGAH DUSTA. Disini akan dijelaskan secara terang benderang, pokok-pokok bahasan yang tertuang di inti cerita. Kandita Ekaturangga sudah berhasil mendapatkan sekuntum cinta yang ada di hati Krishna Tritaksaka, meski dia mendapatinya dalam keadaan yang hampir layu, bahkan beberapa helai mahkota nya sudah berguguran, dan Kandita akan berusaha untuk memupuk kembali sekuntum cinta itu dengan ketulusan dari dalam hatinya, dan Kandita akan menyirami sekuntum cinta itu dengan pengorbanan dari jiwanya.
            Satu bulan berlalu sejak Krishna dan Kandita memutuskan untuk bertunangan. Pilihan yang tepat bagi Krishna, karena Krishna adalah orang yang ingin mencintai, dan Kandita adalah orang yang ingin dicintai. Krishna bukan tidak menyadari bahwa Kandita mencintai dirinya, dia hanya belum menyadari hal itu. Sama seperti kebanyakan penumpang KRL Ekonomi yang belum menyadari betapa pentingnya jika seluruh rangkaian KRL Ekonomi di transformasi menjadi kereta ber-AC.
            Kok jadi ngomongin kereta lagi sih? Pada intinya Krishna belum menyadarinya waktu itu. Tapi sekarang, Krishna sudah memahami betapa besar cinta Kandita kepadanya. Betapa Kandita ingin mendampinginya, dia pun tahu. Krishna sudah tidak lagi memikirkan Tiffany, gadis yang mengguncangkan hatinya dengan satu kejapan mata. Krishna juga sudah tidak lagi memikirkan Tania, yang telah memporakporandakan hatinya, kemudian meninggalkannya.
            Hatinya sudah tetap, jiwanya sudah mantap, dan pikirannya sudah bulat, untuk menjadikan Kandita sebagai istrinya, membangun keluarga bersama Kandita, menjadi pasangan suami-istri muda, memiliki dua anak yang lucu-lucu, yang bertumbuh besar, dan mereka akan menjadi tua bersama.
            Tapi apakah sekuntum cinta itu akan berada di tempat yang semestinya? Apakah sekuntum cinta itu akan berada di tempat yang aman? Apakah sekuntum cinta itu akan selalu berada di tengah-tengah ketulusan? Memang seharusnya begitu, supaya semua berjalan selaras. Tapi, tidak akan asik ceritanya jika semua berjalan sesuai dengan apa yang seharusnya.
            Para peneliti mengenal konsep Das Sein dan Das Sollen. Yang tertulis, dan yang terjadi pada kenyataan. Jika yang tertulis dan yang terjadi itu sama atau berjalan selaras, maka tidak ada masalah disitu; tidak ada yang perlu diperbincangkan. Tetapi jika kedua hal itu saling bersinggungan, tidak selaras, bersilangan, maka itulah yang harus dipelajari kenapa, dan bagaimana, serta apa yang membuat persilangan itu.
            Krishna dan Kandita akan berpisah, berpisah dalam arti secara fisik. Tubuh mereka lah yang berpisah, yang satu ke utara, yang lainnya ke selatan. Disinilah cinta diuji, seperti sebilah besi yang belum berarti apa-apa. Ketika dipanasi oleh bara api, batang besi itu akan membara, dan seseorang akan menempa nya, menjadi sebilah pedang tajam yang siap menebas apa pun yang mengganggu jalan pemiliknya. Begitupun cinta diantara mereka. Seperti seekor ulat bulu yang menjijikan, yang bersembunyi didalam kepompongnya, sampai waktu yang tidak ditentukan,
            Oh, iya. Di dalam cerita ini, akan sedikit menceritakan Marsha Adisti Dwiprahyangan, adiknya Kandita, sebagai apa? Pada intinya seru deh! Anissa, teman sekerja Krishna yang akan ditugaskan bersama dengan Krishna.