II
Stasiun
Bojonggede masih pada tempatnya yang kemarin, letak geografisnya disebelah
selatan stasiun Citayam, dan disebelah utara stasiun Cilebut. Krishna dan Kandita
berdiri berdampingan di peron ujung utara yang sudah diperpanjang. Kandita
sudah tidak berpura-pura cemburu kepada Tania, karena Krishna sudah mengetahui
apa yang dilakukan oleh Kandita. Sejak Sekolah Menengah Atas, semua yang
dilakukan Kandita adalah kepura-puraan, kecuali cintanya yang tidak bisa di
pura-purakan. Sebenarnya Kandita punya kemampuan untuk memura-murakan cintanya,
tapi dia tidak sanggup. Dia tidak sanggup untuk mempermainkan perasaannya akan
cinta Krishna yang tulus. Kandita tidak mampu mempermainkan orang yang telah
menunggunya selama hampir lebih dari dua setengah jam di halte stasiun
Sudirman.
Kandita
benar-benar mencintai Krishna. Perasaan itu timbul karena Kandita sendiri yang
memendam perasaan itu dalam hatinya. Setelah perasaan itu dipendam, cukup lama,
sampai perasaan itu bertumbuh menjadi sekuncup cinta didalam hatinya. Percuma
saja Kandita ingin memotongnya, setelah sekian lama dipendam, cinta itu sudah
berubah menjadi sebuah mawar yang sangat disayangkan apabila dipotong. Ada dua
cara untuk mengatasi masalah tersebut, diantara hidup dan mati, cara pertama Kandita
menerima hasil dari perbuatan memendam perasaannya itu dan atau mencabut dari
akarnya, cara kedua ini pasti menyakitkan, karena cinta tersebut sudah
menggurita di hatinya, mengakar kuat dan keras. Dia baru menyadari cinta yang
benar-benar ada di hatinya itu.
Di perhatikan, jalur dua dari arah selatan
KRL commuter line tujuan Manggarai, Sudirman, Tanah Abang, Duri, Angke, Kampung
Bandan, Pasar Senen melintas langsung, mengakhiri perjalanan di stasiun
Jatinegara, hati-hati jangan menyeberangi jalur satu KRL Commuter Line tujuan
Jatinegara pemberangkatan stasiun Bojonggede pukul enam lewat limabelas menit.
Untuk KRL Commuter Line tujuan Bogor, rangkaiannya berangkat dari stasiun
Citayam. Perhatikan karcis dan barang bawaan anda supaya jangan tertinggal di
wilayah stasiun Bojonggede.
Jalur dua KA delapan
tiga tujuh, selesai naik-turun penumpang, terima aspek sinyal hijau aman,
silakan berangkat!
Kandita
masih tidak mau melepaskan genggaman tangannya dari telapak tangan tunangannya
itu, dia ingin menaruh tasnya di rak yang telah disediakan, tapi tanggung,
mereka berdua akan turun di Depok untuk naik kereta commuter yang akan
berangkat dari stasiun Depok jam enam lewat tiga puluh sembilan menit, kalau
tidak mengalami gangguan. Kalau mengalami gangguan ya mungkin sampai jam tujuh
pagi baru berangkat. Tapi pagi itu tidak ada gangguan, jadi mereka naik kereta
seperti biasa.
Seperti
biasa, aku diam tak bicara.. lhoh, salah! Seperti biasa, mereka berdua turun di
stasiun Depok, lalu naik kereta yang ada di jalur dua, kereta commuter line
tujuan Tanah Abang sampai Jatinegara. Di tempat biasa, pintu sebelah kiri,
Krishna biasa bersandar di pintu itu, dan Kandita sudah barang tentu berhadapan
dengan tunangannya itu sambil mendengarkan lagu dari mp3 player miliknya.
Dia
melihat Krishna yang memejamkan matanya. Kandita tahu, bahwa Krishna tidak
sedang tidur meski dia terbiasa tidur dengan berdiri, karena jika Krishna
tidur, kepalanya tidak akan bersandar pada pintu kereta. Kandita meraih jemari
tangan Krishna, dan didapatinya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Waktu
sudah menunjukkan pukul delapan pagi, namun di ruangan itu belum ada
siapa-siapa. Hanya Krishna, dan Anissa. Krishna baru akan memulai pekerjaannya,
Anissa juga melakukan hal yang sama. Teman-temannya sesama RoKer atau Rombongan
Kereta masih tertahan di stasiun Pasar Minggu karena ada beberapa penumpang,
mereka menyebut diri sebagai atappress. Yang tersengat LAA.
“Temen-temen loe kemana pak?”
tanya Nissa.
“Wah, nggak tahu bu!”
“Syahroni, Jamil, Ridwan dan
kawan-kawan! Naik kereta juga ‘kan?” heran Nissa.
“Iya, paling-paling kereta
bermasalah bu!” mereka masih berbincang, dan tak lama handphone Krishna
berbunyi, Ridwan lah yang menelfonnya.
“Yups, kenapa coy?” tanya
Krishna.
“Pak, sori nih, gue sama yang
lainnya kayaknya terlambat!”
“Emang sudah terlambat loe!
Kereta bermasalah?”
“Ada yang kesetrum di Pasar
Minggu! Tiga orang!”
“Weits, gila! Banyak banget!”
“Iya, gue juga nggak tahu nih
kapan selesainya!”
“Ya sudah loe telefon pak Darman
aja coy!”
“Oke pak! Nanti gue telefon!” dan
Krishna mengakhiri pembicaraannya.
“Kenapa pak?” heran Nissa.
“Ada yang wafat di Pasar Minggu!”
singkat Krishna.
“Terus apa hubungan sama
keterlambatan mereka?”
“Wafatnya karena kesetrum
pantograph kereta yang mereka naikin!”
“Waw, pantesan aja!”
Dan
mereka kembali kepada pekerjaannya masing-masing. Karena memang hanya itu yang
bisa mereka lakukan, paling tidak sampai pak Sudarman keluar dari ruangannya,
menatap ruang kerja anak buahnya dan.
“Kemana yang lainnya?”
“Ridwan, Jamil, dan Syahroni
terlambat pak! Naik kereta!” kata Anissa gugup. Dan tatapan pak Darman kini
diarahkan kepada Krishna.
“Krishna, Nissa! Masuk ke ruangan
saya!!” perintah pak Darman singkat, dan langsung dipatuhi oleh kedua
bawahannya itu.
“Ada yang bisa kami kerjakan
pak?” tanya Krishna setelah dipersilakan duduk oleh atasannya itu.
“Krishna, kapan kamu akan
menikah?” tanya pak Darman sambil masih melihat-lihat monitor laptopnya.
“Rencananya tahun depan pak!”
“Nissa, kamu kapan mau menikah?”
“Dua tahun lagi, pak!”
“Kenapa dua tahun lagi?” tanya
pak Darman sambil masih melihat-lihat layar monitornya.
“Belum ada yang mau melamar
saya!” singkat Nissa.
“Krishna, selama lima bulan, bisa
‘kan kamu berpisah sebentar dengan tunangan kamu?” katanya langsung menatap
Krishna dengan dalam. Sejenak, mereka dalam keheningan.
“Apakah ada tugas yang harus saya
kerjakan?” tanya Krishna singkat.
“Aneh! Kamu menjawab pertanyaan
dengan pertanyaan? Saya bertanya kamu sanggup atau tidak?”
“Ya, saya sanggup pak!” tapi
bagaimana dengan Kandita, mampukah dia menunggu selama lima bulan, menunggu
Krishna kembali untuk melamarnya.
“Kamu, Anissa?”
“Ya, saya sanggup!” kata Anissa
padat dan jelas.
“Ini surat tugas dari kantor
pusat!” kata pak Darman sambil mengambil dua lembar kertas yang baru keluar
dari printernya, kemudian menyerahkan kepada Krishna dan Anissa sesuai nama
yang tetera di masing-masing surat itu.
“Kantor pusat?” heran Krishna.
“Kalian akan diperbantukan!”
“Diperbantukan?” heran Nissa.
Memangnya kami ini guru?
“Ya, Mentawai!”
“Itu bukannya nama kota di
Kalimantan pak?”
“Memang kesana kalian akan
ditugaskan!” kata pak Darman.
“Sebagai apa pak?” heran Krishna.
“Namanya juga diperbantukan! Kamu
harus bisa melakukan apa saja!” jelas pak Darman.
Mereka
berdua tidak mungkin mengingkari janjinya kepada atasan yang sudah dianggap
sebagai ayahnya sendiri itu. Jadi mereka terima tugas itu dengan kesungguhan
hati. Sekalipun, harus meninggalkan tunangannya.
“Kapan kami berangkat pak?” tanya
Krishna.
“Lusa! Tiket pesawat sedang
dipesan, uang transport kalian akan dikirim ke nomor rekening kalian
masing-masing, dan sekarang, kalian boleh pulang! Istirahat yang cukup!”
“Baik pak!” kata mereka taat.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Kenapa loe bu?” tanya Krishna
setelah melihat Nissa yang sepertinya masih tidak mempercayai apa yang baru
dialaminya.
“Gue nggak percaya!”
“Nggak percaya kenapa bu?”
“Gue nggak percaya kalau gue
bener-bener bisa ke Kalimantan!”
“Ah, lebay loe! Apa bedanya coba
Kalimantan, Jawa, Sumatra, sama Sulawesi? Sama-sama di iklim tropis ‘kan?” kata
Krishna sambil meminum air bening yang ada di mejanya.
“Gue bisa ke sungai Kapuas pak!”
“Ya, ya ya! Gue tau loe bu! Lagian
sungai Kapuas apa bedanya sih sama sungai Ciliwung?”
Siang
itu, waktu menunjukkan pukul dua belas, Krishna dan Nissa masih
berbincang-bincang. Tidak ada sesuatu yang harus mereka kerjakan, karena pak
Darman sudah mengalihkan semua tugas mereka kepada teman-temannya.
“Loe sudah makan belom bu?” tanya
Krishna.
“Belum! Kenapa? loe mau traktir
gue pak?” tanya Nissa.
“Ya sudah yuk! Ron, Jamil,
Ridwan; loe gue bungkusin aja ya!”
“Wah, gue nggak usah deh! Jamil
sama Roni aja tuh kayaknya!” kata Ridwan.
“Oh, oke lah!”
Di
sebuah kedai mie ayam, Krishna memesan empat porsi untuknya, Nissa, Jamil dan
Roni, untuk menambah rasa kebersamaan, Krishna memutuskan untuk melakukan
sistim pesan-bawa, singkatnya di bungkus untuk makan di kantor, karena tidak
enak juga seorang pria yang sudah bertunangan makan berdua-duaan dengan seorang
wanita yang bukan tunangannya.
“Tunangan loe si Martina, rela
nggak pak?” tanya Nissa saat menunggu pesanan.
“Kandita! Bukan Martina!” singkat
Krishna.
“Eh, iya! Loe sudah bilang ke dia?”
“Belum! Kayaknya gue butuh
bantuannya pak Darman deh!”
“Bantuan gimana?”
“Untuk kasih penjelasan ke calon
ibu dari anak-anak gue!”
“Hallah, gaya loe pak!”
“Nah, loe kapan?” canda Krishna.
“Nggak tahu lah!”
“Padahal loe tuh cantik, seksi,
pinter lagi! Cuman orang goblok yang nggak mau jadian sama loe!” kata Krishna.
“Mulai nggombal nya! Gue bilangin
mbak Kandita baru tahu rasa loe!”
“Eh, jangan dong!”
“Kalau cuman orang goblok yang
nggak mau jadian sama gue, loe termasuk yang goblok dong pak?” canda Nissa.
“Gimana ya?” kata Krishna sambil
terbahak.
“Sudah, bayarnya pakai ini saja!”
kata Nissa sambil mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu.
“Wah, padahal gue yang harusnya
traktir loe-loe pada bu!”
“Sudah! Loe tabung saja buat
nikah pak!” gurau Nissa.
“Thank you banget Niss!”
“WOLES!” kebalikannya SELOW
artinya SLOW: santai. Halllah.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sore
di stasiun Sudirman, waktu menunjukkan jam lima lewat sepuluh menit, Kandita
resah menunggu kedatangan tunangannya. Dia belum mau turun ke peron sebelum
mendapat kabar dari tunangannya itu, padahal matahari sudah semakin tidak
terlihat dari pandangan mata. Berulang kali dia coba menelfon tunangannya, tapi
yang mengangkat adalah seorang wanita yang berkata ‘maaf, nomor telefon yang anda tuju sedang berada di luar jangkaun!
Silakan coba beberapa saat lagi!’ sudah jam setengah enam, Krishna belum
terlihat juga. Dan, yang membuatnya terkejut adalah ketika Krishna berdiri
tegak dibelakangnya dengan tatapan yang tidak bisa di eksplanasikan dengan kata.
“Kamu dari mana saja sih?” heran Kandita.
“Maaf! Apakah aku masih bisa
memandangi kamu seperti ini?” tanya Krishna datar, dan ternyata dengan kalimat
itu membuat Kandita tersentuh dan menitikkan air mata.
“Kenapa nangis? Kereta nya masih
lama ‘kan? Aku mau ngobrol sama kamu!” kata Krishna. Nggak biasa-biasanya
Krishna bersikap seperti ini, seperti ingin pergi jauh.
“Langsung saja! To the point. Disini!” pinta Kandita. Krishna menatap dalam kepada Kandita, lalu
mengambil selembar kertas, surat tugasnya dan memberikan kepada Kandita.
“Jadi, kamu mau pergi?” tanya Kandita
dengan beberapa titik air mata yang sudah hampir jatuh dari wajahnya. Dan benar
saja, setetes air mata jatuh membasahi surat tugas itu, jatuh tepat di nama
tunangannya, dan merusak komponen tinta yang ada disekitarnya.
“Kenapa harus kamu?” tanya Kandita
sambil menyeka air matanya.
“Karena hanya aku yang sanggup!”
Krishna mencoba meyakinkan.
“Ada yang bisa dibantu?” tanya
seorang paruh baya yang tiba-tiba ada di dekat mereka. Pak Darman.
“Ya, saya tahu kalian tidak
berpacaran! Kalian langsung bertunangan!”
“Pak Darman?” heran Kandita.
“Kalian masih satu tahun lagi
‘kan menikahnya? Lima bulan sih sebentar Kandita!” hibur pak Darman.
“Iya pak!” meski sebenarnya Kandita
tidak bisa menerima perkataan pak Darman.
“Besok jam makan siang, datanglah
ke kantor kami! Perpisahan!” kata pak Darman singkat.
“Ya, pak! Saya usahakan!” singkat
Kandita.
Kereta
commuter line tujuan Bogor, masih ramai seperti biasa. Krishna mengajak Kandita
untuk bersandar di pintu sebelah kiri, karena pintu di sebelah kiri tidak akan
dibuka, kecuali jika banyak penumpang yang masuk dari stasiun Manggarai.
Seperti biasa, Kandita memeluk erat Krishna, seakan tidak ingin kehilangan
tunangannya itu.
Hal
terindah bagi Kandita adalah bisa berpelukan dengan tunangannya di kepadatan
kereta commuter line, dan lagu When
You’re Gone dari Avril Lavigne masih mengalun seiring irama kereta, membuat
Kandita terus menerus menitikkan air matanya, dan berkali-kali Kandita menyeka
air matanya itu dengan baju yang melekat di dada Krishna.
“Kita makan dimana?”
“Langsung pulang sajalah! Aku
nggak laper!”
“Terakhir kamu makan kapan?”
tanya Krishna.
“Tadi siang!”
“Tuh, kamu harus makan! Jangan
kayak anak kecil gitu lah!”
Janjine ora tenanan, jebule kriwikan dadi
grojokan. Saben-saben dielingke nanging sajake kok anteng wae; pulo-pulo wis
bejaku, wis pancen dadi nasibku. Tak suwung marang sliramu, ojo dadi rutiking
atimu. Iwak cucut wadahi karung, becik mbacut tinimbang wurung, aduh mas
tinimbang wurung. Ning pasar kok tuku cipir, jo samar yen ora tak pikir, aduh
dik ojo kuatir. Manuk gagak kok ngaku merak, pancen sengojo pancen dijarak aduh,
mas sakit atiku. Ono kadal mangani roti, ndang tak budal, ojo digondeli, aduh
dik ojo digondeli.
Di
warung bakso yang letaknya tidak jauh dari stasiun Bojonggede, lagu itu masih
bersenandung dari music player milik penjaja bakso itu. Krishna hanya mesam-mesem.
“Kenapa kamu?” heran Kandita.
“Nggak kenapa-kenapa kok!”
“Jadi, besok kamu libur?”
“Pak Darman bilang aku harus
istirahat kok!”
“Ya sudah kalau begitu!” kata Kandita
yang langsung menyudahi makannya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sudah
jam delapan malam, dan Kandita baru sampai di rumahnya, Krishna sudah mantap
untuk pergi, dia ingin berpamitan dengan calon mertuanya, pak Suyatno dan
istrinya. sudah layak dan sepantasnyalah Krishna melakukan itu. Kebetulan, pak
Yatno baru turun dari tugasnya.
“Tugas apa Krish?” tanya pak
Yatno.
“Menyiapkan bakal perusahaan kami
pak! Disana akan dibuka cabang baru!”
“Berapa lama?” tanya pak Yatno
sambil menghisap dalam rokoknya.
“Lima bulan pak!”
“Ya sudah! Kamu hati-hati! Jaga
diri disana, di tanah orang, jangan macam-macam!” katanya sambil membuang abu
rokok yang ada di rokoknya.
“Iya, pak!”
“Bapak restui kamu pergi! Kamu
sudah bilang orangtuamu belum?” tanya pak Yatno.
“Belum, pak!”
“Belum?” heran pak Yatno. “Mbok yo kamu kasih tahu mereka dulu!”
“Iya, pak! Nanti sampai di rumah,
saya akan langsung bilang!”
“Ya sudah! Bapak mau istirahat
dulu ya!”
“Iya, pak!” kata Krishna yang
masih duduk di sofa yang ada di teras rumah itu. Dia merapatkan duduknya ke Kandita,
dan meraih tangan kekasihnya itu dengan lembut.
“Kamu hati-hati ya!” kata Kandita
pelan, sangat pelan sampai-sampai Krishna tidak dapat mendengarnya.
“Kenapa?” heran Krishna.
“Iya, kamu hati-hati disana! Jaga
diri kamu baik-baik!”
“Kamu juga ya! Aku pasti jaga
diri!”
“Ya!”
“Kalau nanti aku pulang, kamu mau
jemput aku di bandara?”
“Aku nggak tahu bisa atau nggak!”
“Kok begitu?”
“Kalau tiba-tiba aku ditugaskan
keluar seperti kamu ini, bagaimana?”
“Kamu juga harus bisa jaga diri
ya!” jawab Krishna sambil mengecup kening Kandita.
“Ya, aku pasti jaga diri
baik-baik!” kata Kandita dengan mantap.
Krishna
pun pulang, meninggalkan rumah kekasihnya. Memang berat untuk meninggalkan
senyuman Kandita. Tapi tatapan mata Kandita selalu mengisyaratkan kepada
Krishna bahwa senyuman itu bukanlah senyuman yang terakhir.
Waktu
sudah menunjukkan jam sembilan malam. Krishna baru sampai di rumahnya. Ibu dan
bapaknya belum tidur, masih menyaksikan acara kesukaannya di pesawat televise
yang ada di ruang tamu rumah itu.
Krishna
memberi salam setelah sebelumnya melepas sepatu dan kaus kakinya, kemudian dia
duduk di sofa menghadap kedua orangtuanya.
“Ono opo le?” tanya bapaknya.
“Krishna dikirim ke luar kota,
pak! Bu!”
“Berapa lama?” tanya bapaknya.
“Lima bulan, pak!” singkatnya.
“Kemana?”
“Kalimantan!”
“Sama siapa?”
“Teman kantor pak!”
“Kamu sudah bilang Kandita?”
tanya bu Suroto.
“Sudah bu!”
“Kamu harus jaga diri baik-baik
ya disana!”
“Iya, pak! Krishna akan jaga diri
baik-baik!”
“Sudah! Itu saja, kamu istirahat
lebih baik! Daripada disini nanti kamu kecapean!” kata bapaknya.
“Iya, pak!”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tiba
waktunya acara perpisahan yang direncanakan oleh Pak Darman beserta jajarannya.
Melepas Krishna dan Nissa untuk bertugas di Kalimantan. Turut serta di acara
siang itu Kandita, tunangan Krishna.
Awalnya,
Kandita menganggap Nissa adalah teman Krishna, tapi ketika dia mendengar bahwa
Nissa yang ditugaskan bersama Krishna, kepercayaannya kepada Krishna tiba-tiba
menurun, karena Krishna belum pernah menceritakan soal Nissa sebelumnya.
Apalagi,
Krishna dan Nissa sudah sangat dekat. Memang Krishna menganggap teman-teman
kantornya adalah saudara-saudaranya. Apalagi Krishna sudah menganggap Nissa
sebagai kakak perempuannya. Tapi, bagaimana dengan Nissa? Apakah selama ini
gadis itu menganggap Krishna sebagai adik laki-lakinya?
“Oh, ini ya Krish, tunangan loe!
Maaf ya kemarin gue nggak bisa datang!”
“Ya, nggak kenapa-kenapa bu!”
“Panggil Nissa aja! Nggak usah
pakai ‘bu’ oke!” kata Nissa.
“Oh, iya!”
“Jadi, saya pinjam tunanganmu
dulu ya!” canda Nissa. Berani-beraninya kamu. Geram Kandita, tentu saja dalam
hatinya. Kalau tidak di kantor Krishna, mungkin Kandita sudah mendamprat habis
Nissa dengan logat Surabaya yang masih ada di lidahnya. Tapi pak Darman segera
menjawil Nissa dan memanggil anak buahnya itu ke dalam ruangannya.
“Tunangannya Krishna itu belum
terlalu kenal sama kamu! Jangan diajak bercanda dulu!” katanya sambil menghela
nafas panjang.
“Iya, pak! Saya minta maaf!”
“Jangan ke saya! Ke orangnya
langsung!!”
“Oh, iya pak! Terima kasih sudah
diingatkan!”
Dengan
penuh rasa penyesalan, Nissa keluar dari ruangan pak Darman. Meski begitu, dia
berusaha untuk menutupi perasaannya itu dengan keceriaan yang ada di wajahnya. Mencari
Kandita, dan Krishna dia ingin menyampaikan rasa penyesalannya, tapi sepertinya
belum ada gunanya.
“Kalau kamu mau, nggak usah
pinjam-pinjam segala! Ambil saja dia! Aku sudah nggak butuh!” tukas Kandita
kepada Nissa. Dia lalu berlari keluar kantor itu dan langkahnya terhenti ketika
dia mendengar Krishna mengokang pelatuk pistol yang dimilikinya dan mengarahkan
ke kepalanya sendiri.
“Meski bukan pistol nyata, butir
peluru ini akan bersarang di kepalaku, dan mungkin aku akan mati! Aku rasa
lebih baik aku mati, jika aku harus hidup tanpa kamu!”
“Kenapa kamu bilang begitu?”
tanya Kandita sambil menyeka air matanya.
“Karena kamu yang memaksaku untuk
mengatakan ini!”
Dengarkan laguku, isi hatiku. Jangan kau
selalu bimbang dan ragu. Ingatlah selalu kata-kataku. Biar aku pergi KU TETAP
MILIKMU. Kenapa slalu bimbang dan ragu, jangan kau begitu. Percaya padaku.
Pak Darman memang pandai memilih lagu yang tepat untuk perpisahan sepasang
kekasih yang sedang mencintai. Karena dulu, dia juga pernah mengalami apa yang
dialami oleh bawahannya itu.
Kandita
masih memandangi Krishna dengan tatapan nanar. Dilihat sekelilingnya,
pandangannya mulai kabur, karena air mata yang mulai memenuhi bola matanya.
Kali ini dia tidak berpura-pura, dia benar-benar tersinggung akan apa yang
dikatakan oleh Nissa.
“Kandita, ayolah!” pinta Krishna.
“Saya seorang wanita! Dan kamu
juga wanita! Bisa kita berbicara sebagai seorang wanita?” pinta Nissa. Tatapan Kandita
masih tidak mengenakkan, memandang Nissa sebagai lawannya, sebagai orang yang
ingin merebut kekasihnya.
“Ada apa?” tanya Kandita datar.
“Saya minta maaf! Saya hanya
bercanda!”
“Lain kali, kalau ingin bercanda
kamu harus melihat siapa dan kapan! Saya tunangannya Krishna, dan di saat
seperti ini kamu mengeluarkan candaan yang tidak semestinya!”
“Ya, aku minta maaf!” kata Nissa
dengan penuh penyesalan.
“Ya sudah!” Kandita berdiri,
diikuti oleh Nissa.
“Tolong jaga Krishna! aku harap,
kamu bisa selalu mengingatkan dia tentang aku!”
Aku
harap, kamu bisa mengatakan kepadanya bahwa aku disini akan selalu menunggunya.
Aku harap, kamu selalu mengatakan kepadanya bahwa aku tunangannya. Bahwa aku
adalah calon ibu dari anak-anaknya. Tapi semua akan berdusta, karena cinta itu
akan berada di tengah-tengah kedustaan. Apakah cinta itu akan tetap bersemi
meski berada di tngah-tengah dusta. Andai cinta itu tetap bersemi, apakah yang
dapat membuatnya bertahan. Adakah kesetiaan dan ketulusan saja cukup untuk membuat
cinta tetap bersemi dalam lembah yang penuh dengan kemunafikan? Bagaimana jika
kemunafikan dan kedustaan itu malah mengalahkan kesetiaan dan ketulusan dalam
diri Krishna?
“Ya, aku akan sampaikan
semuanya!”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------